Di kampungku hanya ada
sekolah SD. Oleh karena itu untuk bersekolah di SMP harus keluar kampung. Kebetulan
di kampung sebelah ada sekolah SMP letaknya sekitar satu kilometer dari
kampungku, SMP Harapan Bangsa namanya.
SMP ini menjadi
favorit bukan karena kualitasnya, karena anak usia SD belum mengerti mana
sekolah yang berkualitas mana yang tidak. SMP ini menjadi favorit karena motivasi
orang tua.
“Rajin-rajinlah kau belajar, supaya nanti tamat kau bisa masuk SMP Harapan Bangsa” begitulah petuah para orang tua kepada anaknya ketika sudah masuk di kelas 6 SD.
“Rajin-rajinlah kau belajar, supaya nanti tamat kau bisa masuk SMP Harapan Bangsa” begitulah petuah para orang tua kepada anaknya ketika sudah masuk di kelas 6 SD.
Baca Juga :
Harapan banyak orang
tua agar anaknya bisa masuk di sekolah SMP Harapan Bangsa, bukan tanpa alasan. Jarak
sekolah Harapan Bangsa yang hanya sekitar satu kilometer, jarak sejauh itu
masih bisa ditempuh jalan kaki. Apabila anaknya bisa masuk sekolah itu, maka
orang tua tidak perlu lagi mengeluarkan biaya transportasi bagi anaknya.
Biaya adalah salah
satu kata yang menakutkan bagi orang tua dikampungku. Mata pencaharian yang
mayoritas sebagai petani padi dan menyadap karet, sangat sulit untuk
menyediakan biaya sehari-hari.
Bagi mereka yang mata
pencahariannya sebagai petani padi, saat mereka punya uang ketika panen padi
saja. Namun kadangkala panen tidak sesuai yang diharapkan. Banjir yang
menghanyutkan dan merusak tanaman padi, hama keong mas yang merusak tanaman
padi, belum lagi hama tikus, hama wereng yang suka beraksi seakan tak mau
ketinggalan berpartisipasi membuat susah para petani.
Bagi mereka yang mata
pencahariannya sebagai penyadap karet, mendapatkan uang setelah menjual
karetnya. Karet yang mempunyai harga tinggi, karet yang sudah 3 hari mengering
di tempat penampungan getah.
Namun ketika masuk musim hujan, maka para penyadap karet tidak bisa berbuat apa-apa. Pohon karet yang basah tidak bisa di sadap, karena getah tidak keluar saat pohon basah.
Namun ketika masuk musim hujan, maka para penyadap karet tidak bisa berbuat apa-apa. Pohon karet yang basah tidak bisa di sadap, karena getah tidak keluar saat pohon basah.
Maka beruntunglah bagi
kami: Aku, Rudi, dan Budi serta beberapa anak lainnya bisa bersekolah di SMP Harapan
Bangsa. Para orang tua kami tersenyum lebar saat penerimaan STTB dan NEM bulan
lalu. Emak yang tidak kuat menahan rasa gembira, tiba-tiba langsung memeluk Wali
Kelasku.
Guru itu hampir saja terjerembab ke belakang, tak kuat menahan beban tubuh Emak yang lebih besar darinya. “Sudah”, “sudah”, “cukup” "kayak ibu-ibu pejabat saja" katanya dengan nada agak kesal. Semua hadirin dalam kelas tertawa riuh. Emak tersipu-sipu malu “ maaf Bu, senang kali kurasa” kata Emak.
Guru itu hampir saja terjerembab ke belakang, tak kuat menahan beban tubuh Emak yang lebih besar darinya. “Sudah”, “sudah”, “cukup” "kayak ibu-ibu pejabat saja" katanya dengan nada agak kesal. Semua hadirin dalam kelas tertawa riuh. Emak tersipu-sipu malu “ maaf Bu, senang kali kurasa” kata Emak.
Hari pertama sekolah aku
bersiap untuk pergi sekolah. Kulihat jam sudah menunjukkan pukul 06.20 pagi.
Aku merencanakan berangkat pada pukul 06.30. 10 menit aku gunakan untuk
menunggu sahabatku Rudi dan Andi lewat depan rumah, karena rumahku searah
dengan jalan ke sekolah.
Andi dan Rudi sahabat karibku, kami selalu bersama baik disekolah maupun sepulang sekolah ketika SD. Kami bertigalah yang dipercayakan oleh Wali Kelas sebagai perwakilan melawan SD kampung sebelah pada lomba Cerdas Cermat antar sekolah.
Kami bertiga jugalah yang dikejar-kejar orang gila disaat pulang sekolah, “tangkap penjahat tiga sekawan itu” teriaknya. Kami lari terbirit-birit menghindari orang yang sedang berada dialamnya sendiri itu.
Andi dan Rudi sahabat karibku, kami selalu bersama baik disekolah maupun sepulang sekolah ketika SD. Kami bertigalah yang dipercayakan oleh Wali Kelas sebagai perwakilan melawan SD kampung sebelah pada lomba Cerdas Cermat antar sekolah.
Kami bertiga jugalah yang dikejar-kejar orang gila disaat pulang sekolah, “tangkap penjahat tiga sekawan itu” teriaknya. Kami lari terbirit-birit menghindari orang yang sedang berada dialamnya sendiri itu.
10 menit berlalu tapi
kedua sahabatku itu belum meuncul juga, maka kuputuskan berangkat sendiri aja.
Setelah mencium tangan kedua orang tuaku , aku pun berpamitan berangkat ke
sekolah.
Aku berangkat pukul 06.30 dengan perhitungan, bel masuk pukul 07.15 karena senam dahulu sebelum masuk ke kelas. Dengan waktu perjalanan kurang lebih 30 menit, maka aku bisa tiba disekolah pukul 07.00 tepat. Paling tidak aku masih punya waktu istirahat selama 15 menit.
Aku berangkat pukul 06.30 dengan perhitungan, bel masuk pukul 07.15 karena senam dahulu sebelum masuk ke kelas. Dengan waktu perjalanan kurang lebih 30 menit, maka aku bisa tiba disekolah pukul 07.00 tepat. Paling tidak aku masih punya waktu istirahat selama 15 menit.
Hari pertama sekolah
seharusnya menyenangkan, namun karena aku pergi sendiri, suasananya menjadi
tidak mengenakkan. Semasa SD yang selalu pergi dan pulang sekolah bersama
dengan kedua sahabatku, kini harus berjalan kaki sendiri. Hampa rasanya.
Sepulang sekolah
barulah kami bisa bersama lagi. Dari cerita mereka berdua barulah kutahu,
ternyata mereka pergi bersama kakak-kakak kelas kami yang berasal dari
kampungku. Mereka terlebih dahulu berkumpul di salah satu warung kelontong.
Setelah semua orang yang mereka tunggu datang, barulah mereka berangkat bersama-sama. Pagi itu hanya akulah yang tidak ada bersama mereka. Oleh karena itulah, kedua sahabatku itu menuduhku tidak kompak.
Setelah semua orang yang mereka tunggu datang, barulah mereka berangkat bersama-sama. Pagi itu hanya akulah yang tidak ada bersama mereka. Oleh karena itulah, kedua sahabatku itu menuduhku tidak kompak.
Keesokan harinya, jam
dinding menunjukkan pukul 06.25. Aku berpamitan kepada kedua orangtua, namun
kali ini aku tidak langsung ke sekolah, aku menuju warung tempat berkumpul anak
sekolah seperti yang diceritakan Rudi dan Budi. Di warung itu aku bertemu Rudi
dan Budi, kami pun bersenda gurau sembari menunggu kakak-kakak kelas yang belum
datang.
Kulihat jam dinding
yang ada di warung menunjukkan pukul 06.40, berarti sudah hampir 15 menit aku
berada di warung ini, namun semua orang belum berkumpul. Lalu aku mengajak
kedua sahabatku berangkat lebih dulu, mereka menolak.
Mereka mencoba membujukku untuk berangkat sebentar lagi,”biasanya kami berangkat pukul 06.45” kata mereka berdua. Otakku berpikir keras, kalau berangkat pukul 06.45 dengan waktu tempuh selama 30 menit, maka sampai disekolah 07.15, itu artinya aku sampai disekolah tepat saat bel berbunyi. Aku dihadapkan pada dilema antara kompak dengan sahabat atau tidak terlambat di sekolah.
Mereka mencoba membujukku untuk berangkat sebentar lagi,”biasanya kami berangkat pukul 06.45” kata mereka berdua. Otakku berpikir keras, kalau berangkat pukul 06.45 dengan waktu tempuh selama 30 menit, maka sampai disekolah 07.15, itu artinya aku sampai disekolah tepat saat bel berbunyi. Aku dihadapkan pada dilema antara kompak dengan sahabat atau tidak terlambat di sekolah.
Akhirnya kuputuskan untuk
berangkat sendiri. Walaupun aku sudah mengajak kedua sahabatku itu untuk yang
kedua kalinya, mereka tetap tidak mau ikut denganku. Di perjalanan aku merasa tidak enak hati, ucapan “tidak kompak” dari kedua sahabatku itu menohok batinku.
Namun di sisi lain logikaku berkata kalau aku pergi bersama mereka pasti terlambat. Waktu tempu memang 30 menit, tapi itu kalau berjalan dengan langkah normal, apabila berjalan bersama-sama pasti ada canda tawa, senda gurau, yang menurut perkiraanku pasti lebih dari 30 menit.
Namun di sisi lain logikaku berkata kalau aku pergi bersama mereka pasti terlambat. Waktu tempu memang 30 menit, tapi itu kalau berjalan dengan langkah normal, apabila berjalan bersama-sama pasti ada canda tawa, senda gurau, yang menurut perkiraanku pasti lebih dari 30 menit.
Berjalan seorang diri,
menyusuri jalan aspal yang masih basah oleh embun pagi tadi. Ku hirup udara
pagi dengan rakusnya, agar memenuhi
rongga dadaku, kupercepat langkah kakiku sambil bernyanyi-nyanyi kecil. Semua
itu kulakukan agar kesendirianku bisa cepat berlalu, agar perasaan hampa di
tengah jalan desa yang terbentang panjang ini segera berakhir.
Untuk sampai disekolah
aku melewati jalan aspal hitam sepanjang empat ratus meter, disepanjang jalan
ini terhampar sawah di sisi kiri dan kanannya. Setelah itu lalu aku berbelok ke
kanan masuk jalan kampung yang rusak.
Di jalan ini banyak kerikil-kerikil yang tertanam di tanah, kalau kita tidak hati-hati bisa tersandung. Belum lagi kalau musim hujan, tanahnya lengket disepatu. Jalan ini panjangnya sekitar 4 ratus meter. Setelah melewati jalan kampung yang rusak, maka dua ratus meter selanjutnya melewati areal perkebunan karet.
Hati-hati ketika melewati jalan ini, karena harus melompati parit yang memisahkan areal kebun karet dengan kebun warga. Parit yang lebarnya satu setengah meter itu sudah banyak memakan korban, memang tidak dalam, namun apabila terpeleset sudah dipastikan pakaian akan kotor dibalut lumpur. Belajar dengan pakaian kotor tentu tidak mengenakkan.
Di jalan ini banyak kerikil-kerikil yang tertanam di tanah, kalau kita tidak hati-hati bisa tersandung. Belum lagi kalau musim hujan, tanahnya lengket disepatu. Jalan ini panjangnya sekitar 4 ratus meter. Setelah melewati jalan kampung yang rusak, maka dua ratus meter selanjutnya melewati areal perkebunan karet.
Hati-hati ketika melewati jalan ini, karena harus melompati parit yang memisahkan areal kebun karet dengan kebun warga. Parit yang lebarnya satu setengah meter itu sudah banyak memakan korban, memang tidak dalam, namun apabila terpeleset sudah dipastikan pakaian akan kotor dibalut lumpur. Belajar dengan pakaian kotor tentu tidak mengenakkan.
Aku sampai disekolah
pukul 07.10, lega rasanya aku tidak terlambat. Lima menit kemudian bel
berbunyi, murid-murid berhamburan ke halaman sekolah untuk mengikuti senam
pagi. Senam pagi wajib diikuti oleh semua murid, oleh karena itu bagi murid
yang tidak ikut senam maka akan mendapat ganjaran memungut sampah yang
berserakan di pekarangan sekolah.
Pada saat senam pagi
berlangsung, beberapa guru menyusuri ke samping gedung sekolah yang berbatasan
dengan pagar tembok setinggi kepala. Biasanya murid yang terlambat, untuk menghindari guru piket yang berada di
depan gerbang sekolah, nekat memanjat tembok ini lalu mereka bersembunyi
disamping tembok ini menunggu senam pagi selesai. Setelah senam pagi usai lalu
mereka berbaur dengan anak-anak lain yang hendak masuk kelas. Agar tidak
ketahuan guru, tas mereka sembunyikan dibalik seragam.
Lama kelamaan trik
siswa ini ketahuan para guru. Entah siapa yang memberi tahu para guru akan trik
ini, tapi kalau diperhatikan trik ini adalah trik lama, barangkali aja diantara
para guru ada yang pernah mempraktekkannya ketika menjadi siswa.
Kegiatan patroli para
guru berhasil menjaring banyak siswa pagi itu. Kuperhatikan lekat-lekat
diantara murid-murid yang terjaring barangkali ada kedua sahabatku. Malang bagi
kedua sahabatku itu, ternyata mereka berdua ada diantara para murid yang
bernasib nahas itu. Kini mereka menjalani hukumannya, memunguti sampah yang
berserakan di pekarangan sekolah sampai bersih.
Terlambat lalu dihukum tidak membuat jera kedua sahabatku
itu. Mereka tetap pada pendiriannya untuk pergi sekolah bersama rombongan kakak
kelas, menurut mereka itulah setiakawan.
Tentu saja sikap mereka ini tidak mengenakkan bagiku, karena itu artinya aku pergi sekolah sendiri lagi. Aku tidak habis pikir bagaimana para kakak kelas itu mendoktrin mereka berdua, sehingga kedua sahabatku itu kehilangan akal sehatnya.
Tentu saja sikap mereka ini tidak mengenakkan bagiku, karena itu artinya aku pergi sekolah sendiri lagi. Aku tidak habis pikir bagaimana para kakak kelas itu mendoktrin mereka berdua, sehingga kedua sahabatku itu kehilangan akal sehatnya.
Pergi sekolah sendiri
kadang kala pulang sendiri juga. Kepatuhan kedua sahabatku kepada kakak kelas
kami meningkat, kini sepulang sekolah mereka bukan lagi langsung pulang ke
rumah, melainkan ikut kemana kakak kelas pergi.
Kadangkala pergi bermain bola ke kampung sebelah, kadangkala hanya sekedar menemani kakak kelas mengunjungi sahabatnya. Sore hari baru mereka pulang. Tentu saja aku tidak bisa mengikuti mereka, omelan Emak yang bagaikan senapan laras panjang memuntahkan peluru, membuat nyaliku ciut untuk tidak langsung pulang ke rumah. Makanya aku lebih memilih pulang sendirian
Kadangkala pergi bermain bola ke kampung sebelah, kadangkala hanya sekedar menemani kakak kelas mengunjungi sahabatnya. Sore hari baru mereka pulang. Tentu saja aku tidak bisa mengikuti mereka, omelan Emak yang bagaikan senapan laras panjang memuntahkan peluru, membuat nyaliku ciut untuk tidak langsung pulang ke rumah. Makanya aku lebih memilih pulang sendirian
Pergi sekolah dan
pulang sekolah sendiri adalah konsekuensi yang harus kuterima, karena aku
memilih disiplin. Pergi sekolah bersama tentu sangat mengasyikkan, ada canda
tawa sepanjang perjalanan, bersenda gurau dengan sahabat, namun kalau akhirnya
terlambat dan mendapat hukuman aku tidak terima. Batinku menolaknya.
Biarlah aku tetap pada
pendirianku, disiplin pergi dan pulang sekolah sakalipun seorang diri, itu
lebih menenangkan hatiku. Lama-kelamaan karena terlalu sering menjalani
kesendirian tumbuh benih-benih kemandirian dalam jiwaku.
Untuk mengusir sepi ketika pergi dan pulang sekolah, aku coba menikmati alam sekitar yang kulewati, hamparan sawah, kehidupan petani, jalan kampung yang rusak, kicauan burung, bahkan ketika aku terpeleset masuk ke parit yang harus kulompati setiap hari.
Untuk mengusir sepi ketika pergi dan pulang sekolah, aku coba menikmati alam sekitar yang kulewati, hamparan sawah, kehidupan petani, jalan kampung yang rusak, kicauan burung, bahkan ketika aku terpeleset masuk ke parit yang harus kulompati setiap hari.
Semua itu kurekam
dalam ingatanku, lalu kurangkai dalam secarik kertas dalam bentuk puisi. Tiga tahun
tidak terasa sudah kulalui, banyak sudah puisi yang telah kuhasilkan. Awalnya
aku bingung mau kuapakan puisi sebanyak itu.
Waktu kutanya Emak mau diapakan puisi-puisiku, jawaban emak “dibakar aja, bikin sumpek saja itu”. Jawaban Emak ini menyadarkan aku, kalau aku bertanya kepada orang yang salah. Emak yang lahir dan dibesarkan dikampung, tidak begitu mengerti puisi itu apa, dan untuk apa puisi dibuat.
Waktu kutanya Emak mau diapakan puisi-puisiku, jawaban emak “dibakar aja, bikin sumpek saja itu”. Jawaban Emak ini menyadarkan aku, kalau aku bertanya kepada orang yang salah. Emak yang lahir dan dibesarkan dikampung, tidak begitu mengerti puisi itu apa, dan untuk apa puisi dibuat.
Kebingunganku
terjawab, setelah aku membaca majalah bekas yang kutemukan ketika membongkar
gudang. Majalah tersebut menerima karangan cerita dan puisi. Lalu kucoba
mengirimkan puisi-puisiku melalui Kantor Pos.
Seminggu kemudian surat balasan dari majalah itu datang, puisi-puisiku diterima dan akan diterbitkan secara berkala. Hatiku senang sekali karyaku ada yang mengapresiasi. Emak pun senang juga “ baguslah biar tidak sumpek lagi kamarmu” katanya sambil tersenyum. Aku pun tertawa terbahak-bahak mendengarnya.
Seminggu kemudian surat balasan dari majalah itu datang, puisi-puisiku diterima dan akan diterbitkan secara berkala. Hatiku senang sekali karyaku ada yang mengapresiasi. Emak pun senang juga “ baguslah biar tidak sumpek lagi kamarmu” katanya sambil tersenyum. Aku pun tertawa terbahak-bahak mendengarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar