Sering kali terjadi permasalahan dalamhal kepengurusan dan juga keberlanjutan dari harta serta hak-hak properti yang
ditinggalkan oleh pewaris yang sudah meninggal dunia. Sehingga tidak heran jika
waris ini menjadi hal sensitif untuk dibicarakan dalam kehidupan manusia.
Bahkan waris ini biasanya menjadi penyebab dalam terjadinya pertikaian di dalam
keluarga. Hubungan keluarga bisa hancur hanya karena persoalan tentang waris
dan pembagiannya yang dinilai tidak adil.
Di indonesia, lebih banyak orang yang menggunakan hukum waris Islam. Sebab Indonesia memang mayoritas masyarakatnya beragama Islam. Tidak hanya itu, penggunaan hukum waris Islam di Indonesia dipahami oleh masyarakat karena berlandaskan pada syariat Islam yaitu Hadis dan Al-Qur’an. Sehingga masyarakat percaya dengan hukum yang bersumber pada syariat Islam, dapat mengatur kehidupan untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan juga akhirat.
Dalam fiqih hukum waris Islam, terdapat
tiga rukun waris yang wajib dipenuhi sebelum pembagian harta warisan dilakukan.
Tiga rukun tersebut adalah:
1. Al-muwarrits : Orang yang mewariskan atau disebut
dengan al-muwarrits adalah mayit yang diwarisi oleh orang lain yang
berhak mewarisinya.
2. Al-wârits : Orang yang mewarisi atau disebut
dengan al-wârits adalah orang yang memiliki tali persaudaraan dengan
mayit dan juga beberapa alasan lainnya yang menyatakan dia berhak mewarisi
harta tersebut.
3. Al-maurûts : Harta warisan atau al-maurûts adalah harta warisan yang memang menjadi kekayaan yang diwariskan seorang mayit kepada keluarga terdekatnya.
Orang yang mewariskan harta warisan atau pewaris adalah orang yang sudah meninggal. Sedangkan orang yang mewarisi harta warisan atau ahli waris adalah orang yang memiliki ikatan kekeluargaan dengan pewaris berdasarkan sebab-sebab yang mendasari hal tersebut, yang sudah kami jelaskan sebelumnya. Harta warisan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris dan ingin diwariskan pada keluarganya.
Pembagian Harta Waris dalam Islam merupakan harta yang diberikan dari orang yang telah meninggal kepada orang-orang terdekatnya seperti keluarga dan kerabat-kerabatnya. Pembagian harta waris dalam Islam diatur dalam Al-Qur an, yaitu pada An Nisa yang menyebutkan bahwa Pembagian harta waris dalam islam telah ditetukan ada 6 tipe persentase pembagian harta waris, ada pihak yang mendapatkan setengah (1/2), seperempat (1/4), seperdelapan (1/8), dua per tiga (2/3), sepertiga (1/3), dan seperenam (1/6).
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam hukum kewarisan dijelaskan sebagai hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.
Pewaris adalah orang yang pada saat meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli awaris dan harta peninggalan.Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum unutk menjadi ahli waris.
Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi hak miliknya maupun hak-haknya.Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah, pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.
Namun demikian, selain memperoleh hak waris, ahli waris juga memiliki kewajiban menurut ketentuan pasal 175 KHI yakni untuk mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai. Menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan termasuk kewajiban pewaris maupun menagih piutang.Menyelesaiakan wasiat pewaris. Membagi harta warisan diantara ahli waris yang berhak.
A. Furudhul Muqaddarah
Adalah bagian-bagian yang telah
ditentukan oleh syara’ bagi ahli waris tertentu dalam pembagian harta
peninggalan , atau dengan kata lain prosentase bagian yang telah ditentukan
bagiannya .
Furudul Muqaddarah ada enam macam:
1. Dua pertiga (2/3)
2. Setengah (1/2)
3. Sepertiga (1/3)
4. Seperempat (1/4)
5. Seperenam (1/6)
6. Seperdelapan (1/8)
Sedangkan ahli waris yang mendapatkan bagian-bagian dari furudul muqaddarah
adalah:
Pihak laki-laki:
·
Ayah;
·
Kakek dari pihak ayah dan
seterusnya ke atas;
·
Suami;
·
Saudara laki-laki seibu;
Pihak perempuan:
·
Anak perempuan;
·
Anak perempuan dari anak
laki-laki (cucu perempuan dari anak laki-laki) dan terus kebawah
·
sejauh pertaliannya dengan
yang meninggal masih laki-laki;
·
Ibu;
·
Nenek dari pihak ayah dan
seterusnya keatas sebelum berselang perempuan;
·
Saudara perempuan seibu
dan seayah;
·
Saudara perempuan yang
seayah saja;
·
Saudara perempuan yang
seibu saja;
· Isteri;
B. Dzawil Furudh (Ashabul Furudh)
Adalah ahli waris yang mendapat bagian
tertentu dalam keadaan tertentu, maksudnya ahli waris yang telah ditetapkan
oleh syara’ memperoleh bagian tertentu dari furudul muqaddarah dalam pembagian
harta peninggalan.
Ashabul furud ada dua macam:
1.
Ashabul furudh sababiyyah : Yaitu ahli waris yang disebabkan oleh
ikatan perkawinan. Yakni:
·
Suami;
·
Isteri;
2. Ashabul
furudh nasabiyyah : Yaitu ahli waris yang telah ditetapkan atas dasar nasab. Yakni:
·
Ayah;
·
Ibu;
·
Anak perempuan;
·
Cucu perempuan dari garis laki-laki;
·
Saudara perempuan sekandung;
·
Saudara perempuan seayah;
·
Saudara laki-laki seibu;
·
Saudara perempuan seibu;
·
Kakek shahih;
·
Nenek shahih;
Adapun pembagiannya adalah sebagai
berikut:
a. Yang
mendapat dua pertiga (2/3)
1. Dua anak perempuan atau lebih, bila tidak ada anak laki-laki (An-Nisa:11)
2. Dua anak perempuan atau lebih dari anak laki-laki, bila anak perempuan tidak
ada (An-Nisa:176)
3. Saudara perempuan sebapak, dua orang atau lebih (An-Nisa:176)
b. Yang
mendapat setengah (1/2)
1. Anak perempuan kalau dia sendiri
2. Anak perempuan dari anak laki-laki atau tidak ada anak perempuan
3. Saudara perempuan seibu sebapak atau sebapak saja, kalau saudara perempuan
sebapak seibu tidak ada, dan dia seorang saja (An-Nisa:176)
4. Suami bila isteri tidak punya anak (An-Nisa:12)
c. Yang
mendapat sepertiga (1/3)
1. Ibu, bila tidak ada anak atau cucu (anak dari anak laki-laki), dan tidak ada
pula dua orang saudara (An-Nisa:11)
2. Dua orang saudara atau lebih dari saudara seibu (An-Nisa:12)
d. Yang
mendapat seperempat (1/4)
1. Suami, bila istri ada anak atau cucu (An-Nisa:12)
2. Isteri, bila suami tidak ada anak dan tidak ada cucu. Kalau isteri lebih
dari satu maka dibagi rata (An-Nisa:12)
e. Yang
mendapat seperenam (1/6)
1. Ibu, bila beserta anak dari anak laki-laki atau dua orang saudara atau lebih
(An-Nisa:11)
2. Bapak, bila jenazah mempunyai anak atau anak dari laki-laki (An-Nisa:11)
3. Nenek yang shahih atau ibunya ibu/ibunya ayah.
4. Cucu perempuan dari anak laki-laki (seorang atau lebih) bila bersama seorang
anak perempuan. Bila anak perempuan lebih dari satu maka cucu perempuan tidak
mendapat harta warisan.
5. Kakek, bila bersama anak atau cucu dari anak laki-laki, dan bapak tidak ada.
6. Saudara perempuan sebapak (seorang atau lebih), bila beserta saudara
perempuan seibu sebapak. Bila saudara seibu sebapak lebih dari satu, maka
saudara perempuan sebapak tidak mendapat warisan.
f. Yang
mendapat seperdelapan (1/8)
1. Isteri (satu atau lebih), bila ada anak atau lebih.
C. ‘Ashabah
Menurut bahasa, ‘ashabah adalah kalangan
kerabat laki-laki, yaitu anak laki-laki, ayah, dan kalangan kerabat laki-laki
dari pihak laki-laki.Sedangkan menurut istilah, ‘ashabah adalah orang yang
mendapatkan harta warisan yang belum ditetapkan atau ahli waris yang tidak
memiliki bagian tertentu .
‘Ashabah dibagi menjadi dua, yaitu:
1. ‘Ashabah Nasabiyyah
Adalah ahli waris ‘ashabah karena mempunyai hubungan nasab dengan orang yang
meninggal. ‘Ashabah nasabiyyah terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:
a. ‘Ashabah bin Nafsihi
Yaitu ahli waris laki-laki yang dalam pertalian nasabnya dengan si mayit tidak
diselingi oleh perempuan.
Jalur Ashabah bin Nafsihi:
- Jalur anak laki-laki, yaitu anak laki-laki si mayit dan anak turunan mereka
yang laki-laki ke bawah;
- Jalur ayah, yaitu ayah si mayit dan ayahnya terus ke atas;
- Jalur saudara laki-laki, yaitu saudara laki-laki si mayit seayah dan seibu,
saudara laki-laki si mayit yang seayah, anak laki-laki dari saudara laki-laki
yang seayah dan seibu, anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seayah dan
seterusnya ke bawah;
- Jalur paman dari pihak ayah, yaitu paman si mayit dari pihak ayah yang
seayah dan seibu dengan ayah, paman si mayit dari pihak ayah yang seayah
saja, anak laki-laki paman yang seayah dan seibu dengan ayah, anak laki-laki
paman yang seayah dengan ayah.
Jika ‘ashabah-ashabah ini saling berhimpitan, maka tata urutan yang harus
didahulukan adalah sebagai berikut: jalur anak→jalur ayah→jalur
persaudaraan→jalur paman.
b. ‘Ashabah bil Ghair
Yaitu ahli waris wanita yang menjadi ‘ashabah karena pihak lain, antara lain:
- Anak perempuan si mayit
Baik hanya satu orang atau lebih, mereka menjadi ‘ashabah karena seorang
anak laki-laki si mayit atau lebih.
- Cucu perempuan dari anak laki-laki si mayit
Baik hanya satu orang atau lebih, mereka menjadi ‘ashabah karena seorang
anak laki-laki si mayit atau lebih (baik saudara laki-laki si wanita atau anak
laki-laki pamanya yang memiliki derajat sama).
- Saudara perempuan seayah dan seibu
Baik hanya satu orang atau lebih, mereka menjadi ‘ashabah karena seorang
saudara laki-laki seayah stau lebih.
- Saudara perempuan seayah
Baik hanya satu orang atau lebih, mereka menjadi ashabah karena seorang
saudara laki-laki seayah stau lebih.
c. ‘Ashabah ma’al Gahair
Yaitu semua ahli waris perempuan yang menjadi ‘ashabah bersama ahli waris
perempuan yang lain. Mereka adalah saedara perempuan kandung atau seayah saja
bersama anak perempuan .
Perbedaan antara ashabah bil ghair dan ashabah ma’al ghair adalah bahwa orang
yang menjadikan ashabah bagi ahli waris yang lain adalah ashabah bin nafsihi
sehingga ashabah itu meluas kepada ahli waris perempuan. Sementara itu, ashabah
ma’al ghair pada dasarnya tidak menjadi ahli ashabah bin nafsihi, hanya saja
terhimpun ahli waris-ahli waris wanita ini menyebabkan mereka menjadi ashabah.
2. Ashabah Sababiyyah
Ialah seseorang menjadi ahli waris karena ia membebaskan atau memerdekakan
buadak/hamba sahaya baik laki-laki maupun perempuan. Apabila hamba sahaya yang telah
dibebaskan tersebut meninggal dunia maka ia mendapatkan warisan sebagai ashabah
.
IKTISAR PEMBAGIAN
HARTA DALAM ISLAM |
|
Dua pertiga (2/3) |
1. Dua anak perempuan atau lebih, bila tidak ada anak
laki-laki (An-Nisa:11) 2. Dua anak perempuan atau lebih dari anak laki-laki, bila
anak perempuan tidak ada (An-Nisa:176) 3. Saudara perempuan sebapak, dua orang atau lebih
(An-Nisa:176) |
Setengah (1/2) |
1. Anak
perempuan kalau dia sendiri 2. Anak
perempuan dari anak laki-laki atau tidak ada anak perempuan 3. Saudara
perempuan seibu sebapak atau sebapak saja, kalau saudara perempuan sebapak
seibu tidak ada, dan dia seorang saja (An-Nisa:176) 4. Suami
bila isteri tidak punya anak (An-Nisa:12) |
Sepertiga (1/3) |
1. Ibu,
bila tidak ada anak atau cucu (anak dari anak laki-laki), dan tidak ada pula
dua orang saudara (An-Nisa:11) 2. Dua
orang saudara atau lebih dari saudara seibu (An-Nisa:12) |
Seperempat (1/4) |
1. Suami,
bila istri ada anak atau cucu (An-Nisa:12) 2. Isteri,
bila suami tidak ada anak dan tidak ada cucu. Kalau isteri lebih dari satu
maka dibagi rata (An-Nisa:12) |
Seperenam (1/6) |
1. Ibu,
bila beserta anak dari anak laki-laki atau dua orang saudara atau lebih
(An-Nisa:11) 2. Bapak,
bila jenazah mempunyai anak atau anak dari laki-laki (An-Nisa:11) 3. Nenek
yang shahih atau ibunya ibu/ibunya ayah. 4. Cucu
perempuan dari anak laki-laki (seorang atau lebih) bila bersama seorang anak
perempuan. Bila anak perempuan lebih dari satu maka cucu perempuan tidak
mendapat harta warisan. 5. Kakek,
bila bersama anak atau cucu dari anak laki-laki, dan bapak tidak ada. 6. Saudara
perempuan sebapak (seorang atau lebih), bila beserta saudara perempuan seibu
sebapak. Bila saudara seibu sebapak lebih dari satu, maka saudara perempuan
sebapak tidak mendapat warisan. |
Seperdelapan (1/8) |
Isteri (satu atau lebih), bila ada anak
atau lebih. |
Referensi :
Foto : https://www.qoala.app
Tidak ada komentar:
Posting Komentar